puncak aktifitas dari matahari di perkirakan 2013(badai matahari)

Kamis, 24 Februari 2011

puncak aktifitas dari matahari di perkirakan 2013(badai matahari)




Dapunta Online – Sebuah pijaran yang sudah berada di atas matahari selama seminggu akhirnya meledak juga bulan ini. Ini yang terbaru dari serangkaian ledakan matahari yang akan mencapai puncaknya pada 2013.














Ledakan yang terjadi melepaskan melepaskan energi yang tinggi ke tata surya kita. Namun ini tidak sampai menciptakan aurora di Bumi, karena penyebarannya tidak mencapai atmosfer.

Observatorium Dinamika Solar milik NASA menangkap urut-urutan yang menunjukkan detik per detik pijaran yang meledak. Pada Agustus lalu, para ilmuwan NASA mengamati periodisitas gelombang kejut (shockwave) yang berlangsung selama 28 jam.

Mereka menemukan letupan dan tsunami api yang mengguncang matahari. Para ilmuwan mengatakan bahwa ini merupakan pertanda dimulainya aktivitas matahari ke arah siklus maksimum pada 2013.

“Peristiwa 1 Agustus telah membuka mata kita,” ujar ilmuwan NASA Karel Schrijver. “Kami melihat bahwa badai matahari dapat menjadi peristiwa global karena skalanya yang tidak terbayangkan.”

Para ilmuwan masih mencoba untuk mencari tahu hubungan antara ledakan besar yang terjadi di bawah permukaan matahari ini.

“Kami masih meneliti lebih lanjut penyebab dan efek yang akan ditimbulkan,” ujar Schrijver. “Apakah peristiwa ini merupakan satu rantai kejadian yang saling mempengaruhi atau kejadian ini merupakan sebab akibat dari perubahan besar di medan magnet matahari




Kilatan 15 Februari Pertanda Matahari Mulai Menggeliat Jakarta - Kilatan matahari yang terjadi pada 15 Februari lalu termasuk dalam klasifikasi sinar x atau kategori besar. Hal ini merupakan pertanda atau momentum bahwa matahari telah mulai menggeliat.

"Adanya ledakan kelas x ini menandai matahari yang sepertinya tenang-tenang saja mulai menggeliat. Matahari mulai merayap naik menuju aktivitas puncaknya," kata Kepala Bidang Matahari Lapan Bachtiar saat berbincang dengan detikcom, Kamis (18/2/2010).

Meski tergolong kelas besar, namun kilatan matahari tersebut belum bisa disebut dahsyat. Hingga kini, belum ada laporan mengenai dampak kilatan tersebut.

Menurut Bachtiar, beberapa tahun terakhir ini, aktivitas matahari cukup membingungkan. Pada akhir tahun 2010 saja, para peneliti tidak menemukan titik-titik (bintik) di matahari. "Kalau tidak ada titik-titik (bintik) itu, berarti kan aktivitasnya tidak ada," katanya.

Karena minimnya aktivitas itu, maka prediksi puncak aktivitas matahari pada 2012 menjadi mentah. Para ahli kemudian memprediksi, puncak aktivitas matahari akan terjadi pada 2014.

"Dengan adanya ledakan x kemarin, artinya matahari mulai menunjukkan aktivitasnya dan dari penelitian Lapan, kemungkinan puncaknya akan terjadi pada pertengahan 2014," kata Bachtiar.

Bachtiar mengatakan, semakin mendekati puncak, kilatan atau ledakan matahari akan semakin sering terjadi. Namun bukan berarti ledakan-ledakan itu dahsyat dan membahayakan. "Puncak terakhir terjadi pada 2001, tapi justru ledakan terbesar terjadi pada 2003. Justru saat aktivitas matahari mulai turun," kata Bachtiar.

Sebelumnya peneliti geologi Inggris (BGS) mengumumkan peringatan badai geomagnetik setelah kilatan matahari terjadi pada Selasa 15 Februari pukul 09.00 WIB lalu. Menurut Badan Luar Angkasa AS, aktivitas kilatan api matahari itu terjadi karena adanya peningkatan bintik matahari 1158.
LUBANG HITAM (BLACK HOLE) SEMAKIN DEKATI BUMI

Sebuah tim astronom internasional telah secara akurat mengukur jarak bumi ke lubang hitam untuk pertama kalinya. Tanpa menggantungkan pada model matematika, para astronom memperoleh hasil angka 7800 tahun cahaya, lebih dekat dari asumsi awal. Peneliti mendapatkan data dari emisi radio lubang hitam dan bintang mati di area tersebut.

Dengan tingkat kesalahan penelitian yang semakin kecil (kurang dari 6%), astronom telah mendapatka gambaran yang lebih jelas bagaimana lubang hitam berevolusi. Lebih jauh, jarak yang tepat dibutuhkan untuk mengukur putaran lubang hitam.






 Jarak astronomis lebih mudah diukur dengan alat yang disebut parallax trigonometrik, di mana para astronom menggunakan pergeseran tahunan posisi bintang sebagai akibat orbit bumi mengelilingi matahari (parallax shift).

Peter Jonker dari Institut Riset Luar Angkasa Belanda SRON dan rekannya mengaplikasikan metode ini untuk pertama kalinya, sebagai pendekatan bagi lubang hitam dan bintang terkait, V404 Cygni dalam konstelasi Cygnus.
 Lapisan paling luar bintang telah terkonsentrasi ke lubang hitam. Gas ini pertama kali mengakumulasi dalam bentuk lingkaran plasma di seputar lubang hitam sebelum kemudian lenyap masuk ke dalamnya, sebuah proses yang banyak melepaskan sinar-X dan gelombang radioaktif.

Jonker dan koleganya dapat mengukur secara pasti pergeseran parallax dalam sistem biner kita menggunakan kombinasi teleskop tersebar di seluruh sisi bumi yakni High Sensitivity Array (HSA).

Peneliti percaya bahwa perhitungan sebelumnya jarak lubang hitam dengan bumi ada penyerapan dan penguraian debu antar bintang yang dapat memberikan derajat kesalahan sebesar 50%. Sedangkan tingkat kesalahan penelitian terbaru ini kurang dari 6%.

Dari hasil pengukuran juga menemukan bahwa lubang hitam terbentuk dari ledakan supernova dan kemudian lubang tersebut bergerak di angkasa luar.

sumber : http://funktaztic.info/lubang-hitam-...n-dekati-bumi/


Tabrakan Antar Galaksi:

Tabrakan Galaxi Lebih Cepat!

Berdasarkan pengukuran paling mendetail yang pernah dilakukan, ilmuwan menemukan sistem tata surya kita bergerak 600.000 mph, berarti 100.000 mph lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

Dengan rotasi yang lebih cepat, berarti Bimasaksti memiliki massa sama besar dengan Andromeda, sekitar 270 miliar kali massa bintang.

Itu berarti gaya gravitasi yang menarik galaxi Bimasakti ke arah tetangganya itu makin kuat dan tabrakan akan terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Galaxi Bimasakti dan Andromeda memiliki jarak 100.000 tahun cahaya, sehingga baru setengah jalan menuju tabrakan.

Sistem tata surya kita, berada sekitar 28.000 tahun cahaya dari pusat Bimasakti. Sedangkan jarak ke Andromeda sekitar dua juta tahun cahaya.

Penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan di American Astronomical Society Long Beach di California. Penelitian itu mendapati, tabrakan akan terjadi setara dengan saat matahari kita mulai meredup karena kehabisan bahan bakar nuklir, sekitar tujuh miliar tahun.

Kemungkinan lain selain tabrakan antar planet dan bintang, dua galaxi malah akan bergabung menjadi galaxi baru yang lebih besar.
"Galaxi akan secara dramatis berputar tapi melemah hingga bergabung dan bintang akan mati secara bersamaan dan membentuk galaxi mati yang sangat besar," kata Gerry Gilmore, dari Institut Astronomi di Universitas Cambridge.
7 milyar tahun di hitung sejak trbentuknya bumi jika dihitung2 menurut matematis tinggal puluhan tahun lgi ini hanya prediksi

smoga bermanfaat buat nambah2 ilmu agan

Senin, 21 Februari 2011

konseling lintas budaya

A. Pendahuluan
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian dari masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini mengartikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda-benda (artifak), peraturan dan nilai-nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama-sama dan dilakukan secara turun-temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak-anak, mereka akan mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar-dasar pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai-nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai-nilai yang ada dalam keluarga. Hal-hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, individu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat akan dilakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai-nilai budaya tertentu.

B. Budaya
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan- pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Taylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut: kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai-nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Nilai selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai- nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide-ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.


 A. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada di dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebebasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dengan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari-hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).

B. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang-orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang-orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai-nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Frankl, 1977).
2. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempunyai ciri-ciri yang hampir sama. Masyarakat ini, pada umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan-batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman- tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyarakat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat melestarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masyarakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya. Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah-olah otomatis terhadap adat dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai-nilai atau peraturan yang telah disepakati bersama.

C. KONSELING LINTAS BUDAYA
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan-paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (1) adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh. Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas budaya dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama-sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai-nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai-nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan-perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikategorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (individual deferences).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai-nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai-nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai-nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai-nilai yang diyakini oleh klien ini. Bertolak belakang dengan nilai-nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.

D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor.Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).

2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok.
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara.Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya.Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”

4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor.Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien.Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya.Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.

5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien.Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimak¬sud.


Senin, 14 Februari 2011

KONSELING BEHAVIOR

  1. Teori Kepribadian
  1. Teori Belajar Klasik
Perilaku manusia merupakan fungsi dari stimulus. Eksperimen yang dilakukan Pavlop terhadap anjing telah menunjukan bahwa perilaku belajar terjadi karena adanya asosiasi antara perilaku dengan lingkungannya. Belajar dengan asosiasi ini biasanya disebut classical conditioning. Atas dasar ini menurut Pavlop terdapat du hal penting yang perlu memperoleh perhatian, yaitu (1) organisme selalu berinteraksi dengan lingkungan, dan (2) dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleks.
  1. Teori Belajar Perilaku Operan
Belajra perilaku operan dikemukakan oleh Skinner. Menurut Skinner, perilaku individu terbentuk atau dupertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Skinner melakukan penelitian terhadap tikus. Atas prinsip belajar perilaku operan dapat dipahami bahwa perilaku deskruktif dapat terjadi dan dipertahankan oleh individu diantaranya karena mmeperoleh ganjaran dari lingkungannya.
  1. Teori Belajar dengan Mencontoh
Teori lain yang merupakan pengembangan dari teori behavioral adalah teori belajar dengan mencontoh yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura perilaku dapat terbentuk melalui observasi model secara langsung yang disebut dengan imitasi dan melalui pengamatan tidak langsung yang disebut dengan vicarious conditioning.   
  1. Perilaku Bermasalah
Perilaku yang bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau perilaku yang tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
  1. Tujuan Konseling
Krumboltz (Pietrofesa dkk, 1978) menegaskan tiga criteria tujuan konseling, yaitu:
    1. tujuan konsleing harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
    2. Tujuan konsleing untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilai-nilai konsleor, meskipun tidak perlu identik.
    3. Tujuan konseling disusun secara bertingkat, yang dirumuskan dengan perilaku yang dapat diamati dan dicapai klien.
  1. Prosedur Konseling
Tokoh aliran psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl Thoresen (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut:
    1. Belajar operan, adalah belajar didasarkan atas perlunya pemberian ganjaran untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan.
    2. Belajar mencontoh, yaitu cara dalam memberikan respon baru melalui menunjukan atau mengerjakan model-model perilaku yang diinginkan sehingga dapat dilakukan oleh klien.
    3. Belajar kognitif , yaitu belajar memelihara respon yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
    4. Belajar emosi , yaitu cara yang digunakan untuk mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks clasiccal conditioning.
  1. Peranan Konseling
Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap mneerima, mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau mengkritiknya.
  1. Teknik Spesifik
  1. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negative biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
  1. Terapi Impolsif
Terapi impolsif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang.
  1. Latihan Perilaku Asertif
Latihan asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
  1. Pengkondisian Aversi
Teknik pengkondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (smptomatik) tersebut terhambat kemunculannya.
  1. Pembentukan Perilaku Model
Perilaku model digunakan untuk : (1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk.
  1. Kontrak Perilaku
Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati.
  1. Aplikasi Konseling
Konseling brhavior ini dalam berbagai eksperimen mampu mengatasi masalah-masalah klien yang mengalami berbagai hambatan perilaku seperti : pobia, cemas, gangguan seksual, penggunaaan zat adiktif, obsesei, depresi, gangguan kepribadian, serta sejumlah gangguan pada anak.

Emosi Dalam Konseling

Emosi merupakan warana efektif yang menyertai setiap perilaku idividu, yang  berupa perasaan-perasaan tertentu yang dia alami pada saat menghadapi situasi tertentu. Kata ”Emosi” berasal dari Bahasa Latin ”Emovere” : yang artinya ”Bergerak ke luar”. Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakkan individu untuk menuju rasa aman dan pemenuhan kebutuhannya, serta menghindari sesuatu yang merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan. Ada empat tahapan dalam proses pengkhususan emosi, yaitu: (1) emosi spesifik yang menimbulkan perasaan-perasaa generik, (2) konselor membantu menemukan arah tindakan, (3) konselor membantu menemukan alasan terhadap emosi spesifik, dan (4) konselor membantu klien dalam menangani emosi spesifik secara konstruktif.
Sebenarnya banyak emosi spesifik, akan tetapi permasalahan emosi yang sering dijumpai dalam konseling adalah empat emosi dasar yaitu:
  1. Sakit Hati (Hurt)      
Rasa sakit hati (Hurt) adalah pengalaman yang dialami seseorang ketika terluka secara psikologis yang mengakibatkan gangguan mental, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan rasa marah. Dalam proses konseling konselor dapat membantu klien untuk memberikan reaksi konstruktif terhadap rasa sakit hati dalam cara-cara pertumbuhan yang produktif. Hal itu dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu: (1)Mengakui diri sakit hati, (2)Mencoba mencari arti dari rasa sakit hati itu, (3)Mencari serta menemukan penyebab sakit hati itu sendiri, (4)Melakukan upaya untuk menghindari perasaan sakit agar tidak terjadi di masa yang akan datang.
Konselor dapat mengajarkan tahapan-tahapan itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung konselor menuntun klien melampaui tahapan-tahapan sambil memberikan penjelasan serta alasan pentingnya hal itu. Secara tidak langsung konselor dapat melakukannya melalui penciptaan situasi konseling yang kondusif, sehingga klien senantiasa memperoleh kebahagiaan.

  1. Takut (Fear)
Rasa takut timbul dari antisipasi terhadap ancaman fisik atau psikologis spesifik. Ancaman psikologis merupakan sumber utama timbulnya rasa takut yang dibawa pada umumnya oleh klien ke dalam konseling.
Karena psikis seseorang memiliki sisi yang luas dalam upayanya untuk mempertahankan diri, maka manusia terbuka terhadap banyak ancaman, dan pada gilirannya akan mengalami bnayak takut. Ada empat ketakutan yang sering dibawa klien dalam proses konseling, yaitu: Takut terhadap keakraban, Takut terhadap penolakan, Takut terhadap kegagalan, Takut terhadap kebahagiaan

  1. Marah (Anger)
Banyak orang yang telah diajarkan bahwa marah itu merupakan suatu emosi negative, sehingga berusaha untuk menghapus atau menghindarinya.  Tugas konselor ialah membantu klien agar kemarahan itu menjadi lebih realistis dan mampu menyatakan marah dengan cara yang mengarah pada tindakan positif.
Marah disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama terjadi saat adanya halangan dalam mencapai pemuasan suatu kebutuhan, dan kedua, terjadi ketika dalam proses pemenuhan kebutuhannya mendapat hambatan dari dirinya sendiri. Yang pertama kemudian berkembang menjadi bentuk marah kepada pihak lain, dan yang kedua menjadi marah pada diri sendiri. Tujuan marah pada pihak lain adalah menggerakkan individu memindahkan hambatan dalam pemenuhan kebutuhan, atau memindahkan orang dari situasi di mana kebutuhan tidak terpenuhi.
Konselor harus dapat menegnali perbedaan kedua jenis kemarahan tersebut, agar dapat membantu klien dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan marah.
Ada beberapa manisfestasi marah terhadap diri sendiri dalam cara-cara deskruktif, yaitu: Depresi, Adiksi, Salah tempat dan orang, Perilaku serampangan, Pengorbanan, Canggung atau kikuk, Manisfestasi fisik, Degradasi perilaku.
Seperti halnya marah terhadap diri sendiri, marah terhadap pihak lain dapat dimansifestasikan dengan cara-cara deskruktif sebagai berikut: Moralism, Hostile Talk (Sindiran), Shutting Down (menjatuhkan orang lain, Purposeful Ineptness (ecanggungan bertujuan), Victimizing (membuat korban), Ambushing (penyerangan), Passivity (bersikap pasif), Getting Sick (menjadi sakit).

  1. Rasa Bersalah
Rasa bersalah adalah perasaan tidak nyaman/gundah atau malu pada saat seseorang melakukan kesalahan, keburukan, atau amoral. Konselor harus dapat membantu klien apabila merasakan rasa bersalah dan membantu mereka apakah rasa bersalah itu benar atau salah, kemudian menemukan cara yang tepat untuk menghindari masalah yang timbul. Konselor juga harus memahami adanya tiga macam rasa bersalah yaitu: (1)Rasa bersalah psikologis, (2)Rasa bersalah social, (3)Rasa bersalah religi
Hal penting bagi konselor adalah mengetahui perbedaan dari ketiga tipe rasa bersalah itu untuk membantu klien memecahkan masalah rasa bersalah. Rasa bersalah dapat terjadi secara sadar maupun tak sadar. Rasa bersalah yang tidak disadari mengakibatkan munculnya perilaku menghukum diri sendiri sebagai jalan untuk bertobat karena rasa bersalah tersebut. Dalam beberapa hal beberapa perilaku lebih bnayak dimotivasi oleh rasa bersalah yang tidak disadari, seperti berikut:
1)      Pendirian bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri sendiri dan keragu-raguan.
2)      Menciptakan ketidak-puasan
3)      Psikosomatis atau gejala hipokondria
4)      Doronga kebutuhan yang berlebihan, dsb.

Minggu, 13 Februari 2011

my galery: EXPRESI DIRI

my galery: EXPRESI DIRI

EXPRESI DIRI

Bagaimana mengerjakan segala sesuatu dengan rapi. Kita pun bisa sekalian belajar
 "tanggung jawab", artinya, kalau sudah selesai mengerjakan,
kita pun harus membereskannya kembali. Hati-hati, kekuatiran kita
, bisa menghalangi kita "mengenyam, mempelajari dan menginternalisasi"
nilai-nilai luhur budi pekerti, seperti : tanggung jawab, kreativitas,
konsekuensi (sebab akibat), kebanggaan yang positif pada diri sendiri (atas
dasar kemampuan diri yang riil -  ketekunan, persistensi, konsentrasi, koordinasi (baik koordinasi
tangan, pikiran dan perasaan - dengan koordinasi dengan pihak lain) serta
satu hal yang nilainya tidak kalah tinggi, yakni: membentuk tangga identitas
diri. Setiap aktivitas, merupakan sebuah ekspresi diri sekaligus konfirmasi
akan kemampuan dirinya. Kalau kita merasa "mampu" dan berhasil mengatasi
tantangan yang satu, maka dalam dirinya tertanam rasa percaya diri untuk
melakukan eksplorasi demi eksplorasi ke bidang-bidang lainnya.

 Just free ur mind and keep it real


my galery: psikoterapi islam

my galery: psikoterapi islam

psikoterapi islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang.
Pada zaman sekarang, semakin banyak orang yang memiliki masalah dalam hidupnya dan diantara mereka berusaha mencari konseling dan terapi. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain : masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, masalah yang berhubungan dengan akademik, depresi, kecemasan, trauma, dan masalah dimasa lalu yang mengganggu fungsi seseorang sehari – hari.
Banyak orang yang mencari psikoterapi dengan berbagai alasan, tetapi kebanyakan dari mereka mencari psikoterapi karena mereka membutuhkan bantuan untuk masalah – masalah yang sangat berat. Kebanyakan orang membicarakan masalahnya kepada teman dan keluarga, tetapi itu tidak mampu memperbaiki keadaan dirinya. Psikoterapi merupakan salah satu cara yang tepat untuk membicarakan masalah dan mendapatkan pemecahannya. Oleh karena itu psikoterapi sangatlah dibutuhkan dalam penyembuhan pada orang-orang yang memiliki masalah terutama masalah kesehatan jiwa.
Ada banyak jenis psikoterapi yang dapat diberikan untuk berbagai problem pasien. Dengan pengecualian yang memungkinkan untuk sejumlah kecil metoda perilaku dan kognitif perilaku tertentu, yang diterapkan untuk beberapa problem khas tertentu pula, bukti akurat mengenai efektivitas psikoterapi belum ditemukan. Meskipun demikian, terdapat banyak pengalaman yang sangat menarik perhatian, tetapi tidak akurat menyatakan bahwa banyak jenis psikoterapi dapat membantu pasien; hampir semua terapis melakukan edukasi, mengajajak pasien-pasien untuk menyatakan hal yang menjadi perhatian mereka, mendorong mereka untuk mencoba perilaku yang baru, dsb. sayangnya, indikasi spesifik untuk psikoterapi spesifik umumnya tidak tersedia. Beberapa ahli membantah bahwa banyak metode psikoterapi dalam praktik sebetulnya sama. Para ahli lain mengemukakan bahwa terapi yang terlatih untuk menggunakan teknik tertentu mungkin kurang penting untuk perbaikan kondisi pasien dibandingkan dengan sifat-sifat pribadi terapis yang memiiki empati yang akurat, kehangatan yang tidak posesif serta tulus. Penelitian yang membandingkan keefektifitasan antara peserta latih yang empatik dengan terapis yang sudah berpengalaman menunjukkan bahwa tidak banyak perbedaan hasil yang ditemukan.

B.                 Identifikasi Masalah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa banyak trjadi pada waktu ini manusia menempuh berbagai cara untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya terlepas dari itu boleh atau dilarang oleh agama.
Maka pada makalah ini akan mencoba membahas tentang psikoterapi dan bentuk-bentuk psikoterapi.
C.        Maksud dan Tujuan.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah ;
1.      Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah yang bersangkutan.
2.      Mengetahui tentang pengertian psikoterapi, bentuk-bentuk dan teknik psikoterapi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Pengertian Psikoterapi.
Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya, dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosinya, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya.
James P.Chaplin lebih jauh membagi pengertian psikoterapi dalam dua sudut pandang. Secara khusus, psikoterapi diartikan sebagai penerapan teknik khusus pada penyembuhan penyakit mental atau pada kesulitankesulitan penyesuaian diri setiap hari. Secara luas, psikoterapi mencakup penyembuhan lewat keyakinan agama melalui pembicaraan informal atau diskusi personal dengan guru atau teman. Pada pengertian di atas, psikoterapi selain digunakan untuk penyembuhan penyakit mental, juga dapat digunakan untuk membantu, mempertahankan dan mengembangkan integritas jiwa, agar ia tetap tumbuh secara sehat dan memiliki kemampuan penyesuaian diri lebih efektif terhadap lingkungannya. Tugas utama psikiater adalah memberi pemahaman dan wawasan yang utuh mengenai diri pasien serta memodifikasi atau bahkan mengubah tingkah laku yang dianggap menyimpang. Oleh karena itu, boleh jadi psikiater yang dimaksudkan di sini adalah para guru, orang tua, saudara dan teman dekat yang biasa digunakan sebagai tempat curahan hati serta memberi nasihat-nasihat kehidupan yang baik.

Menurut Carl Gustav Jung, psikoterapi telah melampaui asal-usul medisnya dan tidak lagi merupakan suatu metode perawatan orang sakit. Psikoterapi kini digunakan untuk orang yang sehat atau pada mereka yang mempunyai hak atas kesehatan psikis yang penderitaannya menyiksa kita semua. Berdasarkan pendapat Jung ini, bangunan psikoterapi selain digunakan untuk fungsi kuratif (penyembuhan), juga berfungsi preventif (pencegahan), dan konstruktif (pemeliharaan dan pengembangan jiwa yang sehat). Ketiga fungsi tersebut mengisyaratkan bahwa usaha-usaha untuk berkonsultasi pada psikiater tidak hanya ketika psikis seseorang dalam kondisi sakit. Alangkah lebih baik jika dilakukan sebelum datangnya gejala atau penyakit mental, karena hal itu dapat membangun kepribadian yang sempurna.
Pengetahuan tentang psikoterapi sangat berguna untuk (1) membantu penderita dalam memahami dirinya, mengetahui sumber-sumber psikopatologi dan kesulitan penyesuaian diri, serta memberikan perspektif masa depan yang lebih cerah dalam kehidupan jiwanya; (2) membantu penderita dalam mendiagnosis bentuk-bentuk psikopatologi; dan (3) membantu penderita dalam menentukan langkah-langkah praktis dan pelaksanaan terapinya. Diakui atau tidak, banyak seseorang yang sebenarnya telah mengidap penyakit jiwa, namun ia tidak sadar akan sakitnya, bahkan ia tidak mengerti dan memahami bagaimana seharusnya yang diperbuat untuk menghilangkan penyakitnya. Karenanya dibutuhkan pengetahuan tentang psikoterapi.

B.                 Bentuk-Bentuk dan Teknik Psikoterapi.
Setelah mempelajari teks-teks Al-Qur’an, Muhammad Abd Al-Aziz Al-Khalidi membagi obat (syifa) dengan dua bagian : Pertama, obat hissi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, seperti berobat dengan air, madu, buah-buahan yang disebutkan dalam Al-Qur’an; kedua, obat manawi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruh dan kalbu manusia, seperti do’a-do’a dan isi kandungan dalam Al-Qur’an.
Pembagian dua kategori obat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dua substansi yang bergabung menjadi satu, yaitu jasmani dan ruhani. Masing-masing substansi ini memiliki sunnah (hukum) tersendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Kelainan (penyakit) yang terjadi pada aspek jasmani harus ditempuh melalui sunnah pengobatan hissin, bukan dengan sunnah pengobatan manawi seperti berdoa. Tanpa menempuh sunnahnya maka kelainan itu tidak akan sembuh. Permasalahan tersebut menjadi lain apabila yang mendapat kelainan itu kepribadian (tingkah laku) manusia91. Kepribadian merupakan produk fitrah nafsani (jasmani-ruhani). Aspek ruhani menjadi esensi kepribadian manusia, sedang aspek jasmani menjadi alat aktualisasi. Oleh karena kedudukan seperti ini maka kelainan kepribadian manusia tidak akan dapat disembuhkan dengan sunnah pengobatan hissi, melainkan dengan sunnah pengobatan manawi. Demikian juga, kelainan jasmani seringkali disebabkan oleh kelainan ruhani dan cara pengobatannya pun harus dengan sunnah pengobatan manawi pula.
Dokter sekaligus filosof Muslim yang pertama kali memfungsikan pengetahuan jiwa untuk pengobatan medis adalah Abu Bakar Muhammad Zakaria Al-Razi (864-925). Menurut Al-Razi, tugas seorang dokter di samping mengetahui kesehatan jasmani (al-thibb al-jasmani) dituntut juga mengetahui kesehatan jiwa (al-thibb al-ruhani). Hal ini untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, supaya tidak terjadi keadaan yang minus atau berlebihan. Oleh karena konsep ini maka Al-Razi menyusun dua buku yang terkenal, yaitu althibb al-Manshuriyah (kesehatan al-Manshur) yang menjelaskan pengobatan jasmani, dan al-Thibb al-Ruhani (kesehatan mental) yang menerangkan pengobatan jiwa
Kutipan di atas menunjukkan urgensinya suatu pengetahuan tentang psikis. Pengetahuan psikis ini tidak sekadar berfungsi untuk memahami kepribadian manusia, tetapi juga untuk pengobatan penyakit jasmaniah dan ruhaniah. Banyak di antara penyakit jasmani seperti kelainan fungsi pernapasan, usus perut, dan sebagainya justru diakibatkan oleh kelainan jiwa manusia. Penyakit jiwa seperti stres, was-was, dengki, iri-hati, nifak, dan sebagainya seringkali menjadi penyebab utama penyakit jasmani. Ketika penyakit jiwa itu kambuh maka kondisi emosi seseorang labil dan tak terkendali. Kelabilan jiwa ini mempengaruhi syaraf dan fungsi organik, sehingga terjadi penyempitan di saluran pernapasan, atau penyempitan usus perut yang mengakibatkan penyakit jasmani.
Diskursus Kesehatan Mental (Mental Health) kontemporer telah menemukan suatu jenis penyakit yang disebut dengan psikosomatik (psychosomatic disorders). Penyakit ini ditandai dengan keluhan-keluhan dan kelainan-kelainan pada alat tubuh, misalnya jantung, alat pernapasan, saluran perut, kelamin dan sebagainya. Kelainan ini disebabkan oleh faktor emosional melalui syaraf-syaraf autonom. Kelainan emosional ini akan menimbulkan perubahan-perubahan struktur anatomik yang tidak dapat pulih kembali. Tanda-tAnda dari penyakit ini adalah jantung dirasakan berdebar-debar (palpitasi), denyut jantung tidak teratur (arrhythmia), pendek napas (shortnes of breath), kelesuhan yang amat hebat (fatique), pingsan (faiting), sukar tidur (insomnia), tidak bernafsu makan (anoxia nervosa), impotensi dan frigiditas pada alat kelamin. Diduga keras bahwa penyebab utama penyakit ini adalah perasaan resah dan kecemasan (anxiety).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ighatsah al-Lahfan lebih spesifik membagi psikoterapi dalam dua kategori,yaitu tabiiyyah dan syariyyah. Psikoterapi tabi’iyyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakityang gejalanya dapat diamati dan dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, seperti perasaankecemasan, kegelisahan, kesedihan, dan amarah. Penyembuhannya dengan cara menghilangkan sebabsebabnya. Psikoterapi syar’iyyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakit yang gejalanya tidak dapat diamati dan tidak dapat dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, tetapi ia benar-benar penyakit yang berbahaya, sebab dapat merusak kalbu seseorang, seperti penyakit yang ditimbulkan dari kebodohan, syubhat, keragu-raguan, dan syahwat. Pengobatannya adalah dengan penanaman syariah yang datangnya dari Tuhan. Hal itu dipahami dari QS. Al-An’am : 125 : Barangsipa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
Muhammad Mahmud Mahmud, seorang psikolog muslim ternama, membagi psikoterapi Islam dalam dua kategori; Pertama, bersifat duniawi, berupa pendekatan dan teknik-teknik pengobatan setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata; Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan mengenai nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.
Model psikoterapi yang pertama lebih banyak digunakan untuk penyembuhan dan pengobatan psikopatologi yang biasa menimpa pada sistem kehidupan duniawi manusia, seperti neurasthenia, hysteria, psychasthenia, schizophrenia, Manic depressive psychosis, kelainan seks, paranoia, psychosomatik, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan.
Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya, dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosinya, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya.
Setelah mempelajari teks-teks Al-Qur’an, Muhammad Abd Al-Aziz Al-Khalidi membagi obat (syifa) dengan dua bagian : Pertama, obat hissi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, seperti berobat dengan air, madu, buah-buahan yang disebutkan dalam Al-Qur’an; kedua, obat manawi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruh dan kalbu manusia, seperti do’a-do’a dan isi kandungan dalam Al-Qur’an.
Psikoterapi agak istimewa jika dibandingkan dengan terapi-terapi kedokteran lainnya. Dalam lingkungan kedokteran di Indonesia sekali-sekali dapat ditemukan pandangan yang ragu tetang gunanya mengadakan psikoterapi. Psikoterapi diperkirakan tidak akan disambut oleh masyarkat (“kalau pasien tidak diberi obat ia tidak merasa diobati”). Ternyata, bhwa psikoterapi dapat diterima oleh segolongan pasien karena dipengaruhi lingkungan yang lebih luas di dalam keluarganya, dalam masyarakat dan dalam lingkungan pekerjaannya.
Di lain pihak, seorang dokter perlu memiliki pengetahuan dasar tentang psikodinamik dan teknik wawancara dan setidak-tidaknya mengenal indikasi untuk psikoterapi. Psikoterapi merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan professional secara sukarela, dengan maksud menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala – gejala yang ada, mengoreksi prilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.
Hubungan perasaan dokter terhadap pasien pada psikoterapi bersifat empati ( simpati netral ), tanpa perasaan sentimental atau simpati yang berlebihan. Untuk itu penting seorang dokter memiliki kemampuan dalam memberikan empati, yaitu dengan cara merasakan dengan penuh pengertian emosi dan pengertian perilaku orang lain. Hal ini harus terlihat dari segala gerak – gerak, ucapan – ucapan dan ajuk ( mimik atau gerakan muka ) dari seorang dokter










DAFTAR PUSTAKA

Google